Tantangan

Orangutan di pusat rehabilitasi adalah individu yang telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka dengan manusia, sebagai hewan peliharaan atau sebagai tahanan, untuk berbagai motif. Mereka semua berakhir di pusat-pusat karena mereka telah diselamatkan atau karena pemiliknya rela menyerahkannya. Beberapa juga diselamatkan pada usia yang sangat muda, karena ibu mereka telah dibantai. Hidup di kandang dan diberi makan oleh manusia, mereka telah kehilangan hampir semua naluri alami mereka untuk bertahan hidup di alam liar.

Namun, setelah melalui beberapa tahap rehabilitasi dan pemeriksaan kesehatan yang komprehensif di pusat-pusat tersebut, beberapa orangutan kini siap dilepasliarkan ke alam liar. Akan tetapi melepaskannya tidak semudah yang dipikirkan beberapa orang. Dibutuhkan lebih dari sekadar membuka kandang dan membiarkan mereka berlari ke hutan. Mereka membutuhkan habitat yang aman dan berkelanjutan, sejalan dengan pedoman dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), yang memenuhi kriteria kualitas, daya dukung, dan keamanan.

Mereka tidak bisa dilepasliarkan di hutan tempat orangutan berkeliaran bebas sepanjang hidup mereka. Orangutan yang direhabilitasi mungkin tidak akan pernah bisa hidup berdampingan dengan orangutan liar yang tidak pernah bersentuhan dengan manusia dan karenanya memiliki naluri alami alih-alih yang terpelajar, yang mengesampingkan kemungkinan untuk melepasliarkannya di taman nasional dan hutan lindung.

Apalagi orangutan hanya hidup di hutan dataran rendah, sedangkan sebagian besar hutan sehat di Indonesia kini hanya ada di dataran tinggi. Mereka juga tidak dapat melakukan transmigrasi, yang berarti orangutan Kalimantan Timur tidak dapat dilepasliarkan di Kalimantan Tengah atau hutan lain di luar Kalimantan Timur. Aturan ini juga berlaku untuk orangutan di daerah lain di Indonesia.

Bahkan setelah mereka dibebaskan, tantangan masih ada. Orangutan yang baru dilepasliarkan harus dipantau secara ketat untuk jangka waktu tertentu untuk memastikan keberhasilan program pelepasliaran. Singkatnya, pelepasliaran orangutan adalah program yang melelahkan dan berbiaya tinggi.

Solusi

Akibatnya, semua persyaratan ini mempersempit opsi untuk menemukan situs rilis yang sesuai. Dan tentunya hal ini menjadi perhatian serius, terutama karena kegiatan reintroduksi telah menjadi komitmen pemerintah, yang digambarkan sebagai objektif dan target dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan di Indonesia, 2007-2017. Dalam dokumen ini, disebutkan bahwa rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ke habitat aslinya harus dilakukan pada tahun 2015.

Setelah peluncuran resmi Rencana Aksi, pemerintah mengeluarkan peraturan baru. Sejak saat itu, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P/61/Menhut-II/2008 telah memberikan kesempatan yang telah lama ditunggu-tunggu bagi sektor swasta untuk memanfaatkan dan mengelola hutan alam melalui resto ekosistem. skema konsesi hutan ransum (IUPHHK-RE).

Di sinilah kami masuk. Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) segera setelah mendirikan RHOI pada tanggal 21 April 2009 untuk menjadi perusahaan pertama dari jenisnya yang memberikan jawaban atas kesulitan di atas. Dan pada tanggal 15 September 2009, RHOI akhirnya memperoleh Izin Prinsip (SP-1) dari Menteri Kehutanan Nomor S.739/Menhut-VI/2009, untuk mengelola 86.450 hektar hutan hujan yang sesuai di Kalimantan Timur, menyediakan habitat orangutan yang berkelanjutan dan aman secara hukum setidaknya selama 60 tahun, dengan opsi untuk memperpanjangnya selama 35 tahun lagi.

Komitmen

Di kedua kabupaten tersebut, RHOI melakukan pengelolaan hutan lestari secara umum, seperti restorasi ekosistem, rehabilitasi, pengelolaan lingkungan, pengamanan kawasan hutan, pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat lokal melalui kemitraan, pendidikan dan pelatihan konsesi hutan, penelitian dan pengembangan, perdagangan (barang dan jasa hasil hutan bukan kayu, termasuk ekowisata) untuk pasar domestik dan internasional.

Ini adalah komitmen kami tidak hanya untuk menyediakan tempat yang aman dan berkelanjutan bagi satu-satunya kera besar Asia dan ikon Indonesia, tetapi juga untuk mendukung upaya memerangi ancaman serius perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global.